Kamis, 17 Maret 2011

KEMISKINAN dan KESENJANGAN PENDAPATAN

PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi yang kuat sejak awal tahun 90an hingga 2007 tidak sejalan dengan tingkat pendapatan masyarakat. Laporan dunia kerja 2008 yg di keluarkan ILO menunjukan adanya kesenjangan pendapatan yang cukup tajam. Dan pendapatan yang diterima pekerja sangatlah kecil dibandingkan dengan upah para pekerjanya. Seperti contohnta di Amerika  pada tahun 2007 para pemimpin perusahaan di 15 perusahaan terbesar menerima pendapatan 520 kali lebih besar dibandingkan dengan rata-rata upah pekerja. Pola serupa juga terjadi di negara-negara lain, seperti Australia, Jerman, Hongkong, dan China. Sayangnya, tidak ada angka pasti yang menunjukkan kondisi serupa di Indonesia meskipun dikatakan bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia juga mengalami keadaan yang tak berbeda. Kesenjangan ini, salah satu penyebabnya karena lemahnya sektor informal. Ekkehard mengatakan, laporan ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi pengambil kebijakan untuk mengantisipasi dampak yang lebih besar dari krisis keuangan global.
Kesenjangan pendapatan yang terjadi erat kaitannya dengan kemiskinan yang terjadi. Karena pendistribusian pendapatan yang yang tidak merata akan mengakibatkan angka kemiskinan yang menyebabkan masyarakat tidak mampu menyesuaikan antara pendapatan yang mereka terima dengan tingkat harga barang – barang saat ini.sehingg akan muncul istilah “Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.


KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENDAPATAN
1. KONSEP DAN DEFINISI 
Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan relative, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute. Kemiskian relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Di Negara-negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingakt pendapatan rata-rata per kapita. Sebagi suatu ukuran relative, kemiskinan relative dapat berbeda menurut Negara atau periode di suatu Negara. Kemiskinan absolute adalah derajat dari kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak terpenuhi.

2. PERTUMBUHAN, KESENJANGAN DAN KEMISKINAN 
Data 1970 – 1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan sikaya dengan simiskin.
Penelitian di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 198an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s  dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland, Inggris dan Swedia.
Janti (1997) menyimpulkan è semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam jumlah pendapatan keluarga. Hipotesis Kuznetsè ada korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan.

3. BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
INDIKATOR KESENJANGAN
·         Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendakatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literature adalah dari kelompok pendekatan  pertama dengan tiga alat ukur , yaitu the generalized entropy (GE), ukuran Atkinson, dan koefisien gini.
·         Kurva Lorenz
·         Kumulatif  presentase dari populasi
·         Yang mempunyai pendapatan
·         Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva Lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva Lorenz dari garis 45 derajat tersebut semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.
·         Ketimpangan dikatakan sangat tinggi apabila nilai koefisian gini berkisar antara 0,71-1,0.
·         Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7.Ketimpangan sedang dengan nilai gini antaa 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan koefisien gini antara 0,2-0,35.
·         Selain alat ukur diatas, cara pengukuran lainnya yang lain juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokan menjadi tiga group : 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapat diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah.
·         Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut ,menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.







·         INDIKATOR KEMISKINAN 
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line). Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut yang dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut :
Pa = (1 / n) ∑i [(z - yi) / z]a
Indeks Pa ini sensitif terhadap distribusi jika a >1. Bagian [(z - yi) / z] adalah perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok keluarga miskin (yi) dalam bentuk suatu presentase dari garis kemiskinan. Sedangkan bagian [(z - yi) / z]a adalah presentase eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa.
Ketiga, the severity of property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.





4. TEMUAN EMPIRIS

·         DISTRIBUSI PENDAPATAN   
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distrubusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius, data pengeluaran konsumsi  bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya.
Akan tetapi, karena pengumpulan data pendapatan di Indonesia seperti di banyak LCDs lainnya masih relatif sulit, salah satunya karena banyak rumah tangga atau individu yang bekerja di sektor informal atau tidak menentu, maka penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dianggap sebagai salah satu alternatif.
Menjelang pertengahan tahun 1997, beberapa saat sebelum krisis ekonomi muncul, ingkat pendapatan per kepala di Indonesia sedah melebihi 1000 dolas AS, dan tingkat ini jauh lebih tinggi. Namun, apa artinya kalau hanya 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang menikmati 90% dari jumlah PN. Sedangkan, sisanya 80% hanya menikmati 10% dari PN. Atau kenaikan PN selama masa itu hanya dinikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan dari kelompok masyarakat yang mewakili 90% dari jumlah penduduk tidak mengalami perbaikan yang berarti.
Boleh dikatakan bahwa baru sejak akhir 1970-an, Pemerintah Indonesia mulai memperlihatkan kesungguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak itu aspek pemerataan dalam trilogi pembangunan semakin ditekankan dan ini didentifikasikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program-program dari pemerintah pusat hingga saat ini yang mencerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijkan yang mendukung pembangunan industri kecil, rumah tangga dan koperasi, Program Keluarga Sejahtera, Program KB, UMR, UMP, dan lain sebagainya.
Berikut adalah nilai rasio gini Indonesia menurut daerah perkotaan dan pedesaan mulai tahun 1990-1999.
Tahun
Perkotaan
Pedesaan
Nasional
1990
0,34
0,25
0,32
1993
0,33
0,26
0.34
1994
0,35
0,26
0,34
1995
0,35
0,27
0,35
1996
0,35
0,27
0,36
1997
0,35
0,26
0,37
1998
0,33
0,26
0,32
1999
0,34
0,26
0,33
  Yang menarik dari data susenas tersebut adalah bahwa ternyata krisis ekonomi tidak membuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan menjadi tambah parah, bahkan kelihatannya cenderung menurun. Dan angka Indeks Gini di pedesaan selalu lebih rendah dari pada di perkotaan.


·         KEMISKINAN
Di Indonesia, kemiskinan merupakan salah satu masalah besar. Terutama meliahat kenyataan bahwa laju pengurangan jumlah orang miskin di tanah air berdasarkan garis kemiskinan yang berlaku jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu sejak Pelita I hingga 1997 (sebelum krisis eknomi). Berdasarkan fakta ini selalu muncul pertanyaan, apakah memang laju pertymbuhan yang tingii dapat mengurangi tingkat kemiskinan atau apakahmemang terdapat suatu korelasi negatif yang signifikan antara tingkat pertumbuhan dan presentase jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan?.
Kalau dilihat data dari Asia dalam sstudinya Dealolikar dkk. (2002), kelihatannya memang ada perbedaan dalam presentase perubahan kemiskinan antara kelompok negara dengan leju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kelompoknegara dengan pertumbuhan yang rendah. Seperti China selama tahun 1994-1996 pertumbuhan PDB riil rata-rata per tahun 10,5%, tingkat penurunan kemiskinan per kapita selama periode tersebut sekitar 15,5%, yakni dari 8,4% ke 6,0% dari jumlah populasinya. Sedangkan, misalnya Bangladesh dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun hanya 3,1% selama 1992-1996, tingkat penurunan kemiskinannya per kapita hanya 2,5%. Ada sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah walaupun ekonominya tumbuh positif.[5]
Seperti telah dibahas sebelumnya, banyak studi empiris yang memang membuktikan adanya suatu relasi trade off yang kuat antara laju pertumbuhan pendapatan dan  tingkat kemiskinan, namun hubungan negatif tersebut tidak sistematis. Namun, dari beberapa studi empiris yang pernah dilakukan, pendekatan yang digunakan berbeda-beda dan batas kemiskinan yang dipakai beragam pula, sehingga hasil atau gambaran mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan juga berbeda.

 5. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN 
 Faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan:
1.      Pertumbuhan
2.      Tingkat Pendidikan
3.      Struktur Ekonomi 
6.KEBIJAKAN ANTIKEMISKINAN

 Kebijakan anti kemiskinan dan distribusi pendapatan mulai muncul sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting dari lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia, ADB,ILO, UNDP, dan lain sebagainya.
Tahun 1990, Bank Dunia lewat laporannya World Developent Report on Proverty mendeklarasikan bahwa suatu peperangan yang berhasil melawan kemiskinan perlu dilakukan secara serentak pada tiga front : (i) pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin, (ii) pengembangan SDM (pendidikan, kesehatan, dan gizi), yang memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi, (iii) membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka yang diantara penduduk miskin yang sama sekali tidak mamu untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan perkembangan SDM akibat ketidakmampuan fisik dan mental, bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi secara fisik.
Untuk mendukung strategi yang tepat dalam memerangi kemiskinan diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan perantaranya dapat dibagi menurut waktu, yaitu :
Intervensi jangka pendek, berupa :
Pembangunan sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan
Manajemen lingkungan dan SDA
Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan
Peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan
Peningkatan proteksi sosial (termasuk pembangunan sistem jaminan sosial)
Intervensi jangka menengah dan panjang, berupa :
Pembangunan/penguatan sektor usaha
Kerjsama regiona
Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
Desentralisasi
Pendidikan dan kesehatan
Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
Pembagian tanah pertanian yang merata


 Kesimpulan

Kemiskinan dan kesenjangan pendapatan memiliki hubungan yang erat karena kesenjangan pendapatan adalah salah satu faktor miningkatnya angka kemiskinan dan juga sebagai salah satu tolak ukur dari kemakmuran suatu negara. Kesenjangan pendapatan adalah keadaan dimana para buruh kurang diperhatikan oleh pihak” yang yang seharusnya menjadi sarana aspirasi buruh.sehingga menyebabkan adanya ketimpangan sosial pada dunia kerja.namun kesenjangan sosial juga disebabkan beberapa hal lain yang salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan yang kurang menjadi salah satu faktor dari kecilnya jumlah upah yang digunakan buruh dinanding dengan pegawai diatasnya.pendidkan yang kurang juga disebabkan oleh kemiskinan. Jadi  kemiskinan dan kesenjangan pendapatan seperti suatu rangkaian mata rantai yang melingkar.


sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar