Pendahuluan Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara yang  gandrung memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari  negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan ekonominya  seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini  terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya  dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau  pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang  pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan  suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju  Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara berkembang dalam  mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan pemikiran Alfin  Toffler maupun John Naisbitt yang meyebutkan bahwa untuk masuk dalam  era globalisasi dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang  agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku  pembangunan di negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan  pembangunan ke tahapan pembangunan berikutnya.
Industrialisasi Di Indonesia
Di Indonesia peranan sektor industri dalam produksi nasional pada  tahun 1990 cukup meningkat. Hal ini ditandai dengan sumbangannya sebesar  21% ke dalam produk domestik bruto (PDB), ini berarti telah  melampaui sumbangan sektor pertanian sebesar 19%. (Hartanto, 1995).  Selanjutnya berdasarkan data tahun 2000, besar komposisi perbandingan  sumbangannya terhadap PDB adalah 30% industri dengan 10% pertanian  (LPE-IBII, 2002). Ketika industri akan dikembangkan pada awal 1970-an,  maka dikenallah tiga konsep pengembangan industri, yaitu :
(a) konsep yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam/manusia (comparative  advantages).
(b) konsep yang mengandalkan kecepatan perubahan teknologi (State  to the art of technology) dan
(c) konsep keterkaitan antara hulu-hilir (industrial linkage).
Ketiga konsep itu dilaksanakan secara serempak di Indonesia dimulai  pada awal 1970-an. Walaupun ketika itu, terjadi tarik-menarik antara  mana yang harus dijadikan prioritas dari masing-masing kelompok  pendukung ketiga konsep di atas.
Dawam Rahardjo (1995) menguraikan bahwa di zaman penjajahan kolonial  Belanda perkembangan sektor industri di Hindia Belanda (Indonesia)  merupakan isue kontroversial, sebab kelompok konservatif di  parlemen Belanda, tidak menyetujui adanya proses industrialisasi di  tanah jajahan. Setelah merdeka dari penjajahan Belanda, beberapa tokoh  mencoba menerangkan perlunya proses industrialisasi di Indonesia antara  lain; Mohammad Hatta, Soemitro Djojohadikusumo dan Syafrudin  Prawiranegara. Sumitro dari awal berpendapat bahwa industrialisasi perlu  sebagai jalan keluar mengentaskan kemiskinan yang disebabkan karena  bersumber pada ketergantungan kepada sektor pertanian. Sementara Hatta  berargumen bahwa industrialisasi diperlukan sebab dapat menciptakan  kemandirian yang lebih besar, sementara sektor pertanian dikhawatirkan  karena sangat sensitif terhadap konjungtur perekonomian dunia. Syafrudin  Prawiranegara, berbeda pendapat dengan banyak kalangan ketika  bersemangat untuk menasionalisasikan perusahaan Belanda. Bagi Syafrudin  ketika itu, proses Indonesianisasi jauh lebih penting ketimbang  proses nasionalisasi. Karena itu ketika de Javasche Bank  diubah menjadi Bank Indonesia, Safrudin membiarkan tenaga ahli Belanda  tetap dimanfaatkan. Bagi Syafrudin bukan menguasai lembaganya, tetapi  menguasai sistemnya jauh lebih penting.
Dari sudut pandang kepentingan perekonomian suatu bangsa,  industrialisasi memang penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi  tinggi dan stabilitas. Namun, industrialisasi bukanlah tujuan akhir,  melainkan hanya merupakan salah satu strategi yang harus ditempuh untuk  mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan  perkapita tinggi. Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antar  negara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses  perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis  melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur dalam permintaan  konsumen, produksi, ekspor, dan kesempatan kerja. (Tulus Tambunan,  2001).
Dapat dipahami bahwa ketika membahas masalah industrialisasi, selalu  terkait dengan sektor pertanian. Sehingga setiap persoalan  industrialisasi akan dibahas secara serempak dengan keterkaitan ke  masalah pertanian. Proses pembangunan di Indonesia tetap diawali dengan  perhatian pada bagaimana menggerakkan perekonomian yang berbasis  pertanian. Karena itu diutamakanlah industri yang menciptakan  mesin-mesin pertanian dan sebagainya. Sasaran pembangunan jangka panjang  tahap satu adalah, mengubah struktur ekonomi dari struktur yang lebih  berat dari pada pertanian kepada struktur yang seimbang antara sektor  pertanian dan sektor industri. (Hamzah Haz, 2003). Dengan struktur yang  seimbang inilah maka ekonomi rakyat dapat ditumbuhkan.
Kelemahan mendasar pada pembangunan di masa lalu adalah, pertumbuhan  tidak berhasil mencapai upaya mengaitkan pertumbuhan dengan pemanfaatan  sumber daya alam, pertanian, dan kemaritiman. Ini mungkin salah satu  alasan mengapa ketika awal pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid  dibentuk Menteri Negara Urusan Perikanan dan Sumber Daya Maritim, karena  ketika itu, walaupun dasadari bahwa 60% wilayah Republik Indonesia  adalah lautan. Kenyataan ini merupakan salah satu penyebab gagalnya  proses industrialisasi di Indonesia dalam menciptakan lapangan kerja,  sehingga ketika krisis terjadi sebagian besar angkatan kerja lebih 50%  masih bekerja di sektor pertanian, sementara hanya 10% saja yang bekerja  di sektor industri.
Pada awal sejarah kehidupan, manusia baru mengenal dan memanfaatkan  segala sesuatu yang telah disediakan alam. Perekonomian pada tahap ini  disebut perekonomian yang berbasis pertanian, di mana kegiatan pertanian  mendominasi seluruh aspek kehidupan. Kegiatan menghasilkan barang  hanyalah terbatas pada industri rumah tangga. Demikian pula kegiatannya  belumlah menonjol seperti keadaan sekarang. Perekonomian berbasis  pertanian ini kemudian berkembang menjadi perekonomian berbasis  industri. Tentu saja perkembangan ini akan menyangkut beberapa aspek,  sehingga perlu diidentifikasi, ada perkembangan apa saja, serta  bagaimana pola pengaruhnya kepada kontribusi kedua sektor yakni  pertanian dan industri.
Di Indonesia, secara historis, proses industrialisasi itu telah  berlangsung lama walaupun berbeda tingkat intensitasnya. Jika dikaitkan  dengan kontribusi sektor industri kepada pendapatan domestik bruto,  perubahan besar kecilnya kontribusi menunjukkan besarnya peran dalam  perjalanan suatu sektor terhadap perekonomian bangsa. Persoalannya  adalah seberapa besar peranan transformasi industri kepada perekonomian  rakyat secara menyeluruh ?
Masalah Industrialisasi Di Indonesia
Pada dewasa ini yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana  menyusun suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.  Semakin meningkatnya populasi manusia mengakibatkan tingkat konsumsi  produk dan energi meningkat juga. Permasalahan ini ditambah dengan  ketergantungan penggunaan energi dan bahan baku yang tidak dapat  diperbarui. Pada awal perkembangan pembangunan, industri dibangun  sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain  dan lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk samping  dan limbah yang dibuang ke lingkungan.Adanya sejumlah limbah yang  dihasilkan dari proses produksi, mengharuskan industri menambah  investasi untuk memasang unit tambahan untuk mengolah limbah hasil  proses sebelum dibuang ke lingkungan. Pengendalian pencemaran lingkungan  dengan cara pengolahan limbah (pendekatan end of pipe) menjadi sangat  mahal dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan ketika jumlah industri  semakin banyak, daya dukung alam semakin terbatas, dan sumber daya alam  semakin menipis.
Persoalannya kemudian, pada era dewasa ini, apa pun sektor usaha yang  dibangkitkan oleh sebuah bangsa maupun kota harus mampu siap bersaing  pada tingkat global. Walaupun sebenarnya apa yang disebut dengan  globalisasi baru dapat dikatakan benar-benar hadir dihadapan kita ketika  kita tidak lagi dapat mengatakan adanya produk-produk, teknologi,  korporasi, dan industri-industri nasional. Dan, aset utama yang masih  tersisa dari suatu bangsa adalah keahlian dan wawasan rakyatnya, yang  pada gilirannya akan mengungkapkan kemampuan suatu bangsa dalam  membangun keunggulan organisasi produksi dan organisasi dunia kerjanya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam memenuhi  permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses  industri dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh  manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup  manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai  industri yang dibangun dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa)  negara dan pemenuhan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia.
Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama negara  berkembang) untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka  meningkatkan sumber devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan,  tetapi akibat yang ditimbulkannya merusak hutan tropis sekaligus  berbagai jenis tanaman berkhasiat obat dan beragam jenis fauna yang  langka.
Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse  effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis,  dan meluasnya gurun, serta melumernnya lapisan es di Kutub Utara dan  Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran  lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara  tidak seimbang (Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 – 20).
Kasus Indonesia Indonesia memang negara “late corner” dalam proses  industrialisasi di kawasan Pasifik, dan dibandingkan beberapa negara di  kawasan ini kemampuan teknologinya juga masih terbelakang.
Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang disumbangkan  oleh teknologi dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah  terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran  lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang seperti  Gresik, Surabaya, Jakarta, bandung Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya.  Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan  suhu udara, sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun  di daerah tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Masalah pencemaran lingkungan hidup, secara teknis telah  didefinisikan dalam UU No. 4 Tahun 1982, yakni masuknya atau  dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam  lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia  atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat  tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat  lagi berfungsi sesuai peruntukannya.
Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat tiga unsur dalam  pencemaran, yaitu: sumber perubahan oleh kegiatan manusia atau proses  alam, bentuk perubahannya adalah berubahnya konsentrasi suatu bahan  (hidup/mati) pada lingkungan, dan merosotnya fungsi lingkungan dalam  menunjang kehidupan.
Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam bermacam-macam bentuk menurut  pola pengelompokannya. Berkaitan dengan itu, Amsyari (Sudjana dan  Burhan (ed.), 1996: 102), mengelompokkan pecemaran alas dasar: a).bahan  pencemar yang menghasilkan bentuk pencemaran biologis, kimiawi, fisik,  dan budaya, b). pengelompokan menurut medium lingkungan menghasilkan  bentuk pencemaran udara, air, tanah, makanan, dan sosial, c).  pengelompokan menurut sifat sumber menghasilkan pencemaran dalam bentuk  primer dan sekunder.
Peranan Industrialisasi serta Perkembangannya
Hakikat dari industrialisasi jauh dari sekedar jajaran pilar-pilar  pabrik yang menyemburkan asap. Bukan pula sosok kecanggihan teknologi,  apalagi yang berbasis lemah, sehingga mudah lunglai diterpa badai. Lebih  dari itu industrialisasi adalah proses rekayasa sosial yang  memungkinkan suatu masyarakat siap menghadapi transformasi di berbagai  bidang kehidupan untuk mampu meningkatkan harkat dan martabat  kehidupannya sebagai makhluk sosial di tengah perubahan dan  tantangan-tantangan yang selalu muncul silih berganti. Bagi masyarakat  yang demikian luas, terlalu banyak yang dapat dibuat, bahkan bom  sekalipun, teknologi secanggih apapun bisa jadi dapat dihadirkan. Akan  tetapi bukan itu masalahnya, sebab intinya adalah apa gunanya semua  teknologi itu bagi masyarakat banyak? Kesanalah arah pembangunan, karena  industrialisasi bukan tujuan akhir. (Faisal Basri, 2002, h-289).
Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antar negara, proses  industrialisasi adalah tahapan logis dari transformasi struktur ekonomi  suatu negara, tahapan ini ditunjukkan melalui suatu kenaikan kontribusi  produk manufaktur dalam permintaan konsumen, produksi, ekspor dan  kesempatan kerja. (Chenery, 1992, dikutip Tulus Tambunan, 2001, 108).
Menurut Dumairy, istilah industri mempunyai dua arti. Pertama,  industri adalah himpunan perusahaan-perusahaan sejenis. Dalam konteks  ini disebut industri kosmetik misalnya, berarti himpunan perusahaan  penghasil produk kosmetik. Industri tekstil adalah himpunan pengusaha  yang membuat tekstil. Kedua, industri menunjuk sektor ekonomi  yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif mengolah bahan mentah  menjadi barang jadi atau setengah jadi. Kegiatan pengolahan itu sendiri  dapat bersifat masinal, elektrikal atau bahkan manual. (Dumairy, 1996,  h-227).
Sejarah mencatat bahwa pada abad ke 20 ini disebut sebagai abad  industri, sebab hanya negara-negara yang berhasil mengembangkan  industrinya dalam berbagai bidang, ia menjadi negara yang besar, mulai  dari Inggris, Perancis, Jerman, Itali dan lain-lain hingga ke Amerika  dan Jepang. Bahkan tidak sedikit atau hampir semua negara industri itu  mempunyai negara jajahan, kemudian ketika negara jajahan itu merdeka,  maka mereka pun secara bertahap mengubah dirinya menjadi negara  industri, misalnya India dan juga Indonesia.
Industrialisasi akan menimbulkan perubahan dalam tata kehidupan  manusia, dan sebaliknya perubahan dalam tata kehidupan manusia akan  menjadikan perubahan dalam proses industrialisasi. Industrialisasi  merupakan upaya untuk menggerakkan industri di suatu negara, dengan  demikian industrialisasi merupakan proses perkembangan suatu bangsa.  (Yudo Swasono dalam Muhammad Thoyib, 1995, h-2). Karena itu, sejalan  dengan kebutuhan masyarakat, maka masyarakatpun berkembang dari  masyarakat primitif, menjadi agraris, menjadi industri dan akhirnya  menjadi masyarakat ilmu pengetahuan. Inilah salah satu kenyataan yang  mudah dipahami bagaimana perannya suatu industri terhadap perkembangan  ekonomi rakyat di sebut negara.
Di Indonesia, Tulus Tambunan (2001, h-108) mencatat adanya proses  industrialisasi dimulai dari tahun 1969 dan berhasil mengangkat tingkat  pendapatan per kapita di atas US$ 1.000 per tahun dengan tingkat  pertumbuhan ekonomi 7% pada saat penduduk 200 jutaan. Namun saat tulisan  ini dibuat, keadaan menurun jauh, hingga diperkirakan income perkapita  hanya 650 US$ dengan pertumbuhan ekonomi di bawah 4% dan jumlah penduduk  hampir 210 juta. Yudo Swasono mencatat bahwa setelah krisis ekonomi  yang terjadi pada periode 1982-1986, pada waktu itu pertumbuhan hanya  5%.
Selanjutnya dengan proses industrialisasi pertumbuhan meningkat dan  berhasil recovery (pulih kembali), hingga tumbuh tahun 1989  ialah 7,5%, tahun 1991 mencapai 6,6% dan pada akhir Repelita X, atau  akhir Pembangunan Jangka Panjang II akan tumbuh dengan rata-rata 8,7%.  (Muhammad Thoyib, 1995, h-4). Namun perkiraan ini meleset jauh, sebab  mulai 1997 terjadi krisis moneter yang berlanjut hingga riset ini  ditulis, ternyata kondisi itu masih belum pulih.
Implementasi dan Strategi Industrialisasi.
Menurut Dumairy (1996, h-128), dalam implementasinya ada empat  argumen atau basis teori yang melandasi suatu kebijakan industrialisasi,  yaitu : argumen keunggulan komparatif, keterkaitan industri, penciptaan  lapangan kerja, dan argumentasi loncatan teknologi. Dalam kenyataannya,  bisa saja dikaitkan bahwa semua argumen ini bermuara kepada satu tujuan  yaitu : peningkatan pendapatan masyarakat atau peningkatan cadangan  devisa negara.
Negara yang menganut konsep keunggulan komparatif (comparative  advantages), akan mengembangkan industri yang mengembangkan  keunggulan komparatif baginya, misalnya India yang memiliki perkebunan  kapas yang banyak akan mengembangkan industri tekstil. Negara yang  berpijak pada konsep keterkaitan industri (industrial linkage),  akan mengembangkan industri yang mengakibatkan majunya sub sektor  ekonomi yang lain.
Negara-negara yang industrialisasinya berlandaskan pada argumentasi  penciptaan lapangan kerja (employment creation) akan  memprioritaskan pengembangan industri-industri yang paling banyak  menyerap tenaga kerja. Jenis industrinya disebut : industri padat karya  dan umumnya terjadi pada industri kecil. Sedangkan pada negara yang  menganut paham loncatan teknologi (technology jump atau state  to the art technology), percaya bahwa hanya dengan industri yang  memiliki teknologi tinggi akan memberi nilai tambah besar dan akan  menciptakan industri-industri lain yang digerakkannya.
Tentu saja, semua pilihan jenis industri itu ada sisi positifnya dan  tak sedikit pula sisi negatifnya. Jika berargumentasi keunggulan  komparatif sisi positifnya ialah: efisiensi dalam penggunaan sumber daya  alam yang ada dan berhasil memanfaatkan segala potensi lainnya. Namun  kelemahannya, tingkat kualitas produk sangat bergantung pada apa adanya  dari alam saja, sehingga pada suatu saat mungkin kualitas barang tak  sesuai lagi dengan harapan konsumen, maka industri ini akan merugi.  Demikian pula industri dengan teknologi tinggi kadang tidak efisien dan  menyerap banyak sumber-sumber daya yang ada terutama modal.
Selanjutnya, Dumairy (1996, h-229) menguraikan pula tentang dua macam  jenis strategi, yaitu strategi substitusi impor (import  substitution) dan strategi promosi ekspor (export promotion).
Strategi substitusi impor, dikenal juga dengan istilah strategi  “orientasi ke dalam” atau Inward Looking Strategy, yaitu suatu  strategi industrialisasi yang mengutamakan pengembangan jenis industri  untuk menggantikan impor produk-produk sejenis. Pada tahap awal, yang  dikembangkan biasanya adalah industri ringan yang menghasilkan  barang-barang konsumtif. Untuk memungkinkan menjadi besar,  industri-industri yang masih bayi (infant industry) biasanya  dilindungi oleh pemerintah atau diproteksi, sehingga tidak terlalu berat  bersaing dengan produk impor, misalnya dengan pengenaan tarif  khusus/pajak impor (tariff barrier). Sehingga harga barang  impor mahal tak dapat bersaing dengan harga barang sejenis buatan dalam  negeri. Walaupun dalam praktik, industri yang diproteksi ini bukannya  membesar dan dewasa malah manja hingga tak maju-maju.
Sedangkan strategi promosi ekspor (export promotion), sering  disebut dengan “orientasi ke luar” (Outward Looking Orientation).  Dalam konsep ini negara mengembangkan jenis industri yang menghasilkan  barang-barang untuk di ekspor. Strategi ini biasanya dilakukan setelah  sebuah negara berhasil melakukan strategi substitusi impor.
Di Indonesia, sebagaimana halnya di banyak negara berkembang lainnya,  sektor industri disiapkan untuk menjadi motor penggerak kemajuan  sektor-sektor lain, serta diharapkan menjadi sektor yang memimpin (the  leadingsector). Itulah sebabnya industrialisasi senantiasa  mewarnai perjalanan pembangunan ekonomi. (Dumairy, 1996, h-230).
Dalam konsep ilmu strategi, sebenarnya pilihan Inward looking  tersebut kadang dikenal dengan “Resourcess Based Orientation”,  yaitu suatu strategi yang mengutamakan atau berdasar kepada kemampuan  internal perusahaan. Sebaliknya disebut “Market Based Orientation”  ini yang outward looking, yaitu suatu strategi dengan  mengutamakan pasar terlebih dahulu, artinya melihat keadaan pasar dunia,  apa yang saat ini sedang laku di pasaran dan dalam kualitas yang  bagaimana.
Sebagai penutup dari uraian kerangka teori ini ialah: Bahwa pada  umumnya semua negara yang memulai proses industrialisasi selalu berawal  dari perhatian yang sangat kuat kepada sektor pertanian. Pada analisa  berikutnya, riset ini akan mencoba menggali seberapa besar peranan  sektor pertanian dan industri selama kurun waktu 30 tahun, dan dari sana  akan dianalisa kejadian apa saja yang mengiringinya pada setiap kurun  waktu selama tiga dasa warsa itu.
Analisa
Pada bagian ini, akan memaparkan temuan-temuan yang dianalisa dari  Data LPE-IBII (2002) yang dalam makalah ini dilampirkan hasil  rekapitulasinya pada setiap dekade, yaitu : Dekade Pertama : 1970-1980,  dekade kedua 1980-1990, dan dekade ketiga 1990-2000, selanjutnya dapat  dilihat pada Tabel 3, di halaman berikut.
Dekade Pertama : Kurun Waktu 1970
Hasil perhitungan dari data yang ada menunjukkan bahwa :
a. Walaupun pertumbuhannya bervariasi, secara umum sektor pertanian  terus memberikan kontribusi yang bertambah kepada PDB dengan rata-rata  6.01% dan terjadi lonjakan produksi tahun 1973, ketika naik hingga  29,5%. Jumlah produksi rata-rata tiap tahun mencapai Rp. 29.655,42  milyar.
b. Keadaan sektor industri, pada dekade ini juga tumbuh dengan  pertumbuhan mencapai rata-rata 12.35%. Walaupun kecepatan pertumbuhannya  melebihi sektor pertanian, ternyata pada dekade ini belum bisa  melampaui hasil pertanian. Yang menarik ialah : bahwa kontribusinya  meningkat terus dari 9% hingga 14% dari PDB.
c. Kontribusi jasa-jasa di luar jasa perdagangan dan pertambangan  relatif tetap setiap tahun yaitu antara 9-10% PDB.
d. Kontribusi variabel lain, yang terdiri atas: Pertambangan dan  penggalian listrik, gas dan air bersih, bangunan, hotel restauran dan  jasa keuangan lainnya, kontribusinya kepada PDB relatif kurang lebih 50%  dari PDB dan ini bertahan cukup lama.
e. Pendapatan per kapita cukup tinggi mencapai US $ 2.233 pada tahun  1977, dengan rata-rata selama dekade ini sebesar US $ 1898.70, dan ini  tertinggi dibandingkan pada dua dekade terakhir.
f. Pertumbuhan pemberian kredit kepada swasta terus meningkat,  seiring dengan gerak laju pembangunan secara umum dengan mencapai  rata-rata 22,16% pertahun.
g. Investasi secara nominal bertambah, namun prosentase  pertumbuhannya menurun terus, dan rata – rata dalam dekade ini mencapai  Rp. 18.567,35 milyar. Sementara pertumbuhan tertinggi hanya terjadi  tahun 1970-1971 sebesar 21%, sedangkan rata-rata pertumbuhan pada dekade  ini sebesar 7,84% saja.
h. Rata-rata upah tercatat mencapai angka Rp. 400.000 – 1.000.000,-  untuk pemerintah, sedangkan swasta antara Rp. 100.000,- s.d. 200.000,-
Referensi ;
http://koesmawan.wordpress.com/2009/03/11/industrialisasi-permasalahan-dan-peranannya-bagi-akselerasi-pertumbuhan-ekonomi-rakyat-1970-2000/
http://ekoarianto.students.uii.ac.id/2009/03/25/dampak-industrialisasi-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar