Rabu, 23 Oktober 2013

PERJALANAN sebagai GAYA HIDUP


PERJALANAN sebagai GAYA HIDUP

Dalam suasana urban, perjalanan bukan hanya berfungsi sebagai jalan keluar untuk melarikan diri dari kesesakan dalam suasana itu. Formasi social masyarakat modern perkotaan menghendaki perjalanan bertransformasi menjadi salah satu bentuk gaya hidup. Perjalanan tidak sekadar menjadi kebutuhan untuk menyingkir sejenak dari rutinitas.  Sebagai suatu gaya hidup yang dikonsumsi masyarakat, perjalanan mendapatkan nama barunya. Masyarakat melabeli perjalanan sebagai gaya hidup dengan nama travelling atau jalan-jalan. Travelling biasanya dilakukan seseorang pada waktu luangnya. Aktivitas yang dilakukan pada waktu luang tersebut merupakan salah satu aspek yang signifikan untuk menggambarkan gaya hidup seseorang. Menurut David Chaney (2009), gaya hidup merupakan cirri dari modernitas. Gaya hidup digunakan masyarakat modern untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun tindakan orang lain. Gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana seseorang membentuk citra di mata orang lain. Dalam hal ini, perjalanan tidak mempunyai urusan dengan pencarian jati diri, makna hidup, dan eskapisme. Perjalanan adalah konsumsi yang dilakukan orang untuk menempatkan dirinya dalam posisi social yang diinginkan masyarakat.   Chaney juga menyebutkan bahwa perjalanan dalam masyarakat modern harus dilihat sebagai salah satu aspek gaya hidup, yaitu aktivitas yang terhubung dengan pilihan dan preferensi gaya hidup lainnya. Perjalanan telah menjadi gaya hidup karena telah adanya kesadaran diri untuk menampilkan sesuatu yang konsisten dengan cerminan kesadaran terhadap gaya hidup. Sementara itu, Chaik (dalam Bannet,2005: 149) menyebutkan bahwa perjalanan telah menjadi satu dnegan leisure dan konsumsi kultural.  Alih-alih menjadi ruang perenungan, gaya hidup jalan-jalan lebih berhubungan pada sesuatu yang bersifat hura-hura semata. Ketika seseorang menyatakan ingim jalan-jalan ke suatu tempat, akan mudah ditangkap bahwa orang tersebut akan melakukan sesuiatu yang menyenangkan dan memberinya kepuasan, meski terkadang kesenangan itu didapat dengan cara yang susah misalnya jalan-jalan ala backpacker.  Dalam konteks masyarakat Indonesia, belakangan ini istilah traveling sedang marak. Perkembangan jalan beserta perkembangan lain, semisal teknologi informasi, atau transportasi menjadi pendorong kemunculan gaya hidup tersebut. Ramai-ramai masyarakat mengonsumsinya demi kepentingan untuk mendapatkan atau mempertahankan posisi sosial yang ingin ditempatinya. Sebuah artikel di situs National Geographic Indonesia diawali dengan kalimat “jalan-jalan bukan lagi dianggap pemborosan, tapi sebuah pemenuhan gaya hidup.” Artikel tersebut menjelaskan bahwa jalan-jalan menunjukan pernyataan pencapaian seseorang. Dalam hal ini, jalan-jalan mengandung dimensi kelas, seseorang melakukan perjalanan untuk bisa masuk ke kelas tertentu. Namun “pernyataan pencapaian” melalui jalan-jalan tersebuit tidak hanya soal kelas sosial, tetapi juga mengandung makna sosial lainnya. 

Menjadi Keren atau Menjadi Penganut Setia Tren 
Mengapa masyarakat yang semakin banyak melakukan aktivitas jalan-jalan sebagai gaya hidup mengundang kecurigaan? Perjalanan memiliki makna yang dapat dipamerkan sebagai bagian identitas diri seseorang. Individu yang melakukan traveling mendapatkan kesan-kesan tertentu yang melekat pada dirinya, sebut saja salah stunya adalah kesan keren. Bagi laki-laki berjalan menyandang ransel dengan wajah tertampar matahari memang terkesan “macho”. Sementara itu untuk perempuan menjadi traveler juga menimbulkan kesan-kesan tertentu yang diharapkan akan melekat padanya.  Sekali lagi, situasi sosial yang ada mau tidak mau membuat traveling menjadi sebuiah tren yang diikuti. Sebutlah keberadaan media sosial sebagai salah satu contohnya. Dengan facebook dan twitter, kemudahan-kemudahan yang tidak ada pada masa sebelumnya menjadi mungkin tercipta. Dalam hal jalan-jalan, media sosial menghadirkan kecepatan dan ketepatan informasi yang murah dan juga menyediakan berbagai promosi jalan-jalan yang bisa dibeli oleh penikmatnya. Tidak hanya itu, media sosial menguatkan kecurigaan bahwa orang-orang melakukan traveling hanya atas nama prestise. Memasang profile picture di jejaring sosial dengan latar belakang bangunan ikonis di luar negeri, di bibir pantai yang cantik, maupun di puncak gunung tertentu mewujudkan hasrat narsistik yang dipunyai hampir setiap orang. Mengunggah gambar suatu lokasi wisata, memasang status di foursquare saat sedang jalan-jalan, mengunggah informasi di twitter bahwa sedang berada di suatu tempat yang indah, memamerkan foto di Instagram, semuanya menjadikan jalan-jalan semakin terkenal, sekaligus banal. Seiring dengan aktualisasi diri sebagai traveler melalui media sosial, orang-orang kemudian berlomba-lomba untuk melakukan perjalanan-pejalanan, memotret diri sendiri dan memasangnya di dunia maya agar semua orang tahu bahwa dirinya pernah ke tempat A dibanding orang lain yang hanya ke tempat B. Jadilah perjalanan menjadi semacam kompetisi terselubung. Akan tetapi, Bukankah masyarakat urban memang identik dengan kompetisi?
Terseret Arus Budaya Massa?
Untuk mengetahui ulang mengenai praktik budaya hidup jalan-jalan, konsepsi tentang budaya massa tampaknya patut untuk dicermati. Budaya massa lahir dari industry budaya yang merupakan struktur rasional dan birokratis, misalnya televisi, yang mengontrol kehidupan modern. Budaya massa sendiri dianggap bukan real thing dan lebih dimaknai sebagai budaya yang diberikan, tidak spontan, tereifikasi, dan palsu. Para pemikir teori kritis menghawatirkan dua hal tentang budaya massa. Pertama, kebohongannya yang berisi seperangkat ide yang telah disiapkan dan kemudian disebarkan secara besar-besaran ke massa melalui media massa. Kedua, efeknya kepada masyarakat yang seolah menenangkan, refresif, dan memesona (Ritzer, 2008: 147). Budaya massa ini erat kaitannya dengan upaya kapitalisme untuk menghimpun massa agar terseret arusnya.  Mengenai traveling dewasa ini di Indonesia, siapa yang memungkiri bahwa salah satu yang mempengaruhi perkembangannya adalah kehadiran acara-acara televisi bertemakan perjalanan dan semacamnya? Siapa pula yang tidak setuju bahwa hal tersebut dipengaruhi keberadaan buku-buku tentang traveling yang hari demi hari makin banyak di toko buku? Teks televisi maupun buku-buku perjalanan secara sadar maupun tidak membangun hasrat untuk jalan-jalan dalam diri masyarakat. Simbol-simbol traveling yang ditangkap dari acara televisi maupun buku perjalanan itu mempengaruhi pula gaya tiap-tiap orang dalam bepergian.  Jalan-jalan sebagai budaya massa member kesan yang dangkal bagi pelakunya karena mereka terseret arus untuk mengonsumsi yang memang telah disusun sedemikian rupa oleh struktur kapitalisme dan kemudian disebarkan ke masyarakat melalui media massa yang bermacam rupa. Masyarakat terbawa kesadaran palsu untuk mempraktikan gaya hidup jalan-jalan sebagai bagian hidupnya, menganggapnya keren, trendi dan sebagainya.Dalam hal ini yang tersenyum adalah para kapitalis.  Budaya massa memang menjadikan masyarakat banyak sebagai makhluk yang tak mau terperangah dan terpesona oleh suatu produk budaya, yaitu gaya hidup jalan-jalan tersebut. Dengan menonton televisi dan membaca buku atau majalah, masyarakat secara tidak sadar dipengaruhi keinginannya untuk melakukan perjalanan dan lambat laun mengubahnya menjadi sebuah kebutuhan yang harus dilakukan demi mencapai posisi social dalam masyarakat atau memperoleh identitas diri yang terkesan keren dan trendi.



Senin, 21 Oktober 2013

PERILAKU ETIKA DALAM PROFESI AKUNTANSI



PERILAKU ETIKA DALAM PROFESI AKUNTANSI 

Akuntansi sebagai Profesi dan Peran Akuntan

Akuntan merupakan suatu profesi yang bisa disamakan dengan bidang pekerjaan lain, misalnya hukum atau teknik. Akuntan adalah orang yang memiliki keahlian dalam bidang akuntansi. Di Indonesia, akuntan tergabung dalam satu wadah bernama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Profesi akuntan dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Akuntan Intern. Adalah orang yang bekerja pada suatu perusahaan dan bertanggung jawab terhadap laporan keuangan. Akuntan intern bertugas menyusun sistem akuntansi, menyusun laporan keuangan, menyusun anggaran, menangani masalah perpajakan, serta memeriksa laporan keuangan.
b. Akuntan Publik. Adalah orang yang bekerja secara independen dengan memberikan jasa akuntansi bagi perusahaan atau organisasi nonbisnis. Jasa yang ditawarkan berupa pemeriksaan laporan keuangan sehingga sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Jasa lainnya berupa konsultasi perpajakan dan penyusunan laporan keuangan.
c. Akuntan Pemerintah. Merupakan orang yang bekerja pada lembaga pemerintahan. Akuntan ini bertugas memeriksa keuangan dan mengadakan perencanaan sistem akuntansi. Misalnya Badan Pengawas Keuangan (BPK), dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
d. Akuntan Pendidik. Merupakan orang yang bertugas mengembangkan dan mengajarkan akuntansi. Misalnya dosen dan guru mata pelajaran akuntansi.

Etika profesi akuntan
Etika merupakan persoalan penting dalam profesi akuntan. Etika tidak bisa dilepaskan dari peran akuntan dalam memberikan informasi bagi pengambilan keputusan. Pada prinsip etika profesi dalam kode etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan tentang pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip etika profesi akuntan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Memiliki pertimbangan moral dan profesional dalam tugasnya sebagai bentuk tanggung jawab profesi.
b. Memberikan pelayanan dan menghormati kepercayaan publik.
c. Memiliki integritas tinggi dalam memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik.
d. Menjunjung sikap obyektif dan bebas dari kepentingan pihak tertentu.
e. Melaksanakan tugas dengan kehati-hatian sesuai kompetensi dalam memberikan jasa kepada klien.
f. Menjaga kerahasiaan informasi dan tidak mengungkapkan informasi tanpa persetujuan.
g. Menjaga reputasi dan menjauhi tindakan yang mendiskreditkan profesinya.

Ekspektasi Publik
Masyarakat umumnya mempersepsikan akuntan sebagai orang yang profesional dibidang akuntansi. Ini berarti bahwa mereka mempunyai sesuatu kepandaian yang lebih dibidang ini dibandingkan dengan orang awam.

Selain itu masyarakat pun berharap bahwa para akuntan mematuhi standar dan tata nilai yang berlaku dilingkungan profesi akuntan, sehingga masyarakat dapat mengandalkan kepercayaannya terhadap pekerjaan yang diberikan. Dengan demikian unsur kepercayaan memegang peranan yang sangat penting dalam hubungan antara akuntan dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Nilai-nilai Etika vs Teknik Akuntansi/Auditing

Sebagain besar akuntan dan kebanyakan bukan akuntan memegan pendapat bahwa penguasaan akuntansi dan atau teknik audit merupakan sejata utama proses akuntansi. Tetapi beberapa skandal keuangan disebabkan oleh kesalahan dalam penilaian tentang kegunaan teknik atau yang layak atau penyimpangan yang terkait dengan hal itu. Beberapa kesalahan dalam penilaian berasal dari salah mengartikan permasalahan dikarenakan kerumitannya, sementara yang lain dikarenakan oleh kurangnnya perhatian terhadap nilai etik kejujuran, integritas, objektivitas, perhatian, rahasia dan komitmen terhadap mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri.

Teknik akuntansi (akuntansi technique) adalah aturan aturan khusus yang diturunkan dari prinsip prinsip akuntan yang menerangkan transaksi transaksi dan kejadian kejadian tertentu yang dihadapi oleh entitas akuntansi tersebut.

Perilaku Etika dalam Pemberian Jasa Akuntan publik

Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam konggresnya tahun 1973, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan.



Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:

1.      Prinsip Etika.

2.      Aturan Etika.

3.      Interpretasi Aturan Etika.

Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan.

Referensi :
http://nielam-tugas.blogspot.com/2012/10/perilaku-etika-dalam-profesi-akuntansi.html

ETHICAL GOVERNANCE



ETHICAL GOVERNANCE

1.   Governance System

Sistem pemerintahan merupakan sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya.
Sesuai dengan kondisi negara masing-masing, sistem ini dibedakan menjadi:
  1. Presidensial
  2. Parlementer
  3. Komunis
  4. Demokrasi liberal
  5. kapital
Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan mempunya sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal tersebut.
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut.Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh.
Secara sempit,Sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.
BUDAYA ETIKA

Corporate culture(budaya perusahaan) merupakan konsep yang berkembang dari ilmu manajemen serta psikologi industri dan organisasi. Bidang-bidang ilmu tersebut mencoba lebih dalam mengupas penggunaan konsep-konsep budaya dalam ilmu manajemen dan organisasi dengan tujuan meningkatkan kinerja organisasi, yang dalam hal ini, adalah organisasi yang berbentuk perusahaan.

Djokosantoso Moeljono mendefinisikan corporate culture sebagai suatu sistem nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dijadikan acuan berperilaku dalam organsisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.

Kalau dikaji secara lebih mendalam, menurut Martin Hann, ada 10(sepuluh) parameter budaya perusahaan yang baik :

1. Pride of the organization
2. Orientation towards (top) achievements
3. Teamwork and communication
4. Supervision and leadership
5. Profit orientation and cost awareness
6. Employee relationships
7. Client and consumer relations
8. Honesty and safety
9. Education and development
10. Innovation

MENGEMBANGKAN STRUKTUR ETIKA

Semangat untuk mewujudkan Good Corporate Governance memang telah dimulai di Indonesia, baik di kalangan akademisi maupun praktisi baik di sektor swasta maupun pemerintah. Berbagai perangkat pendukung terbentuknya suatu organisasi yang memiliki tata kelola yang baik sudah di stimulasi oleh Pemerintah melalui UU Perseroan, UU Perbankan, UU Pasar Modal, Standar Akuntansi, Komite Pemantau Persaingan Usaha, Komite Corporate Governance, dan sebagainya yang pada prinsipnya adalah membuat suatu aturan agar tujuan perusahaan dapat dicapai melalui suatu mekanisme tata kelola secara baik oleh jajaran dewan komisaris, dewan direksi dan tim manajemennya. Pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan seperti komisaris independen, komite audit, komite remunerasi, komite risiko, dan sekretaris perusahaan adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan efektivitas "Board Governance". Dengan adanya kewajiban perusahaan untuk membentuk komite audit, maka dewan komisaris dapat secara maksimal melakukan pengendalian dan pengarahan kepada dewan direksi untuk bekerja sesuai dengan tujuan organisasi. Sementara itu, sekretaris perusahaan merupakan struktur pembantu dewan direksi untuk menyikapi berbagai tuntutan atau harapan dari berbagai pihak eksternal perusahaan seperti investor agar supaya pencapaian tujuan perusahaan tidak terganggu baik dalam perspektif waktu pencapaian tujuan ataupun kualitas target yang ingin dicapai. Meskipun belum maksimal, Uji Kelayakan dan Kemampuan (fit and proper test) yang dilakukan oleh pemerintah untuk memilih top pimpinan suatu perusahaan BUMN adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebutuhan untuk membangun "Board Governance" yang baik sehingga implementasi Good Corporate Governance akan menjadi lebih mudah dan cepat.
KODE PERILAKU KORPORASI
Code of Conduct adalah pedoman internal perusahaan yang berisikan Sistem Nilai, Etika Bisnis, Etika Kerja, Komitmen, serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders.
EVALUASI TERHADAP KODE PERILAKU KORPORASI
Melakukan evaluasi tahap awal (Diagnostic Assessment) dan penyusunan pedoman-pedoman. Pedoman Good Corporate Governance disusun dengan bimbingan dari Tim BPKP dan telah diresmikan pada tanggal 30 Mei 2005.


Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pemerintahan