PERJALANAN sebagai GAYA HIDUP
Dalam suasana urban, perjalanan bukan hanya berfungsi sebagai jalan keluar untuk melarikan diri dari kesesakan dalam suasana itu. Formasi social masyarakat modern perkotaan menghendaki perjalanan bertransformasi menjadi salah satu bentuk gaya hidup. Perjalanan tidak sekadar menjadi kebutuhan untuk menyingkir sejenak dari rutinitas. Sebagai suatu gaya hidup yang dikonsumsi masyarakat, perjalanan mendapatkan nama barunya. Masyarakat melabeli perjalanan sebagai gaya hidup dengan nama travelling atau jalan-jalan. Travelling biasanya dilakukan seseorang pada waktu luangnya. Aktivitas yang dilakukan pada waktu luang tersebut merupakan salah satu aspek yang signifikan untuk menggambarkan gaya hidup seseorang. Menurut David Chaney (2009), gaya hidup merupakan cirri dari modernitas. Gaya hidup digunakan masyarakat modern untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun tindakan orang lain. Gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana seseorang membentuk citra di mata orang lain. Dalam hal ini, perjalanan tidak mempunyai urusan dengan pencarian jati diri, makna hidup, dan eskapisme. Perjalanan adalah konsumsi yang dilakukan orang untuk menempatkan dirinya dalam posisi social yang diinginkan masyarakat. Chaney juga menyebutkan bahwa perjalanan dalam masyarakat modern harus dilihat sebagai salah satu aspek gaya hidup, yaitu aktivitas yang terhubung dengan pilihan dan preferensi gaya hidup lainnya. Perjalanan telah menjadi gaya hidup karena telah adanya kesadaran diri untuk menampilkan sesuatu yang konsisten dengan cerminan kesadaran terhadap gaya hidup. Sementara itu, Chaik (dalam Bannet,2005: 149) menyebutkan bahwa perjalanan telah menjadi satu dnegan leisure dan konsumsi kultural. Alih-alih menjadi ruang perenungan, gaya hidup jalan-jalan lebih berhubungan pada sesuatu yang bersifat hura-hura semata. Ketika seseorang menyatakan ingim jalan-jalan ke suatu tempat, akan mudah ditangkap bahwa orang tersebut akan melakukan sesuiatu yang menyenangkan dan memberinya kepuasan, meski terkadang kesenangan itu didapat dengan cara yang susah misalnya jalan-jalan ala backpacker. Dalam konteks masyarakat Indonesia, belakangan ini istilah traveling sedang marak. Perkembangan jalan beserta perkembangan lain, semisal teknologi informasi, atau transportasi menjadi pendorong kemunculan gaya hidup tersebut. Ramai-ramai masyarakat mengonsumsinya demi kepentingan untuk mendapatkan atau mempertahankan posisi sosial yang ingin ditempatinya. Sebuah artikel di situs National Geographic Indonesia diawali dengan kalimat “jalan-jalan bukan lagi dianggap pemborosan, tapi sebuah pemenuhan gaya hidup.” Artikel tersebut menjelaskan bahwa jalan-jalan menunjukan pernyataan pencapaian seseorang. Dalam hal ini, jalan-jalan mengandung dimensi kelas, seseorang melakukan perjalanan untuk bisa masuk ke kelas tertentu. Namun “pernyataan pencapaian” melalui jalan-jalan tersebuit tidak hanya soal kelas sosial, tetapi juga mengandung makna sosial lainnya.
Menjadi Keren atau Menjadi Penganut Setia Tren
Mengapa masyarakat yang semakin banyak melakukan aktivitas jalan-jalan sebagai gaya hidup mengundang kecurigaan? Perjalanan memiliki makna yang dapat dipamerkan sebagai bagian identitas diri seseorang. Individu yang melakukan traveling mendapatkan kesan-kesan tertentu yang melekat pada dirinya, sebut saja salah stunya adalah kesan keren. Bagi laki-laki berjalan menyandang ransel dengan wajah tertampar matahari memang terkesan “macho”. Sementara itu untuk perempuan menjadi traveler juga menimbulkan kesan-kesan tertentu yang diharapkan akan melekat padanya. Sekali lagi, situasi sosial yang ada mau tidak mau membuat traveling menjadi sebuiah tren yang diikuti. Sebutlah keberadaan media sosial sebagai salah satu contohnya. Dengan facebook dan twitter, kemudahan-kemudahan yang tidak ada pada masa sebelumnya menjadi mungkin tercipta. Dalam hal jalan-jalan, media sosial menghadirkan kecepatan dan ketepatan informasi yang murah dan juga menyediakan berbagai promosi jalan-jalan yang bisa dibeli oleh penikmatnya. Tidak hanya itu, media sosial menguatkan kecurigaan bahwa orang-orang melakukan traveling hanya atas nama prestise. Memasang profile picture di jejaring sosial dengan latar belakang bangunan ikonis di luar negeri, di bibir pantai yang cantik, maupun di puncak gunung tertentu mewujudkan hasrat narsistik yang dipunyai hampir setiap orang. Mengunggah gambar suatu lokasi wisata, memasang status di foursquare saat sedang jalan-jalan, mengunggah informasi di twitter bahwa sedang berada di suatu tempat yang indah, memamerkan foto di Instagram, semuanya menjadikan jalan-jalan semakin terkenal, sekaligus banal. Seiring dengan aktualisasi diri sebagai traveler melalui media sosial, orang-orang kemudian berlomba-lomba untuk melakukan perjalanan-pejalanan, memotret diri sendiri dan memasangnya di dunia maya agar semua orang tahu bahwa dirinya pernah ke tempat A dibanding orang lain yang hanya ke tempat B. Jadilah perjalanan menjadi semacam kompetisi terselubung. Akan tetapi, Bukankah masyarakat urban memang identik dengan kompetisi?
Terseret Arus Budaya Massa?
Untuk mengetahui ulang mengenai praktik budaya hidup jalan-jalan, konsepsi tentang budaya massa tampaknya patut untuk dicermati. Budaya massa lahir dari industry budaya yang merupakan struktur rasional dan birokratis, misalnya televisi, yang mengontrol kehidupan modern. Budaya massa sendiri dianggap bukan real thing dan lebih dimaknai sebagai budaya yang diberikan, tidak spontan, tereifikasi, dan palsu. Para pemikir teori kritis menghawatirkan dua hal tentang budaya massa. Pertama, kebohongannya yang berisi seperangkat ide yang telah disiapkan dan kemudian disebarkan secara besar-besaran ke massa melalui media massa. Kedua, efeknya kepada masyarakat yang seolah menenangkan, refresif, dan memesona (Ritzer, 2008: 147). Budaya massa ini erat kaitannya dengan upaya kapitalisme untuk menghimpun massa agar terseret arusnya. Mengenai traveling dewasa ini di Indonesia, siapa yang memungkiri bahwa salah satu yang mempengaruhi perkembangannya adalah kehadiran acara-acara televisi bertemakan perjalanan dan semacamnya? Siapa pula yang tidak setuju bahwa hal tersebut dipengaruhi keberadaan buku-buku tentang traveling yang hari demi hari makin banyak di toko buku? Teks televisi maupun buku-buku perjalanan secara sadar maupun tidak membangun hasrat untuk jalan-jalan dalam diri masyarakat. Simbol-simbol traveling yang ditangkap dari acara televisi maupun buku perjalanan itu mempengaruhi pula gaya tiap-tiap orang dalam bepergian. Jalan-jalan sebagai budaya massa member kesan yang dangkal bagi pelakunya karena mereka terseret arus untuk mengonsumsi yang memang telah disusun sedemikian rupa oleh struktur kapitalisme dan kemudian disebarkan ke masyarakat melalui media massa yang bermacam rupa. Masyarakat terbawa kesadaran palsu untuk mempraktikan gaya hidup jalan-jalan sebagai bagian hidupnya, menganggapnya keren, trendi dan sebagainya.Dalam hal ini yang tersenyum adalah para kapitalis. Budaya massa memang menjadikan masyarakat banyak sebagai makhluk yang tak mau terperangah dan terpesona oleh suatu produk budaya, yaitu gaya hidup jalan-jalan tersebut. Dengan menonton televisi dan membaca buku atau majalah, masyarakat secara tidak sadar dipengaruhi keinginannya untuk melakukan perjalanan dan lambat laun mengubahnya menjadi sebuah kebutuhan yang harus dilakukan demi mencapai posisi social dalam masyarakat atau memperoleh identitas diri yang terkesan keren dan trendi.