Sabtu, 08 Januari 2011

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO


I. Lembaga Keuangan Mikro dan Program Pengentasan Kemiskinan

Lembaga Keuangan Mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.
Di BRI sendiri, micro finance didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp 50 juta. Terdapat masih banyak lagi definisi micro finance atau keuangan mikro tergantung dari sudut pembicaraan.
Bagaimanapun, target atau segmen micro finance senantiasa bersentuhan dengan masyarakat yang relatif miskin atau berpenghasilan rendah Program P4K yang ditangani di BRI mendefinisikan masyarakat miskin sebagai mereka petani nelayan kecil (PNK) dan penduduk pedesaan lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dengan kriteria pendapatannya maksimum setara dengan 320 kg beras per kapita per tahun.
Menurut Marguiret Robinson (2000), pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk didalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana dan tentu saja adalah melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.
Pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu yang ampuh dalam menangani kemiskinan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa, ketika pinjaman diberikan kepada mereka yang sangat miskin, kemungkinan besar pinjaman tersebut tidak akan pernah kembali. Hal ini wajar saja, mengingat mereka (the extreme poor) tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Program pangan dan penciptaan lapangan kerja lebih cocok untuk masyarakat sangat miskin tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat lain yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) atau masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income), mereka memiliki penghasilan, meskipun tidak banyak. Untuk itu diperlukan pendekatan, program subsidi atau jenis pinjaman mikro yang tepat untuk masing-masing kelompok masyarakat miskin tersebut.

II. Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Otonomi Daerah (OTODA) 

Kebijakan Pemerintah Indonesia dibidang Otonomi Daerah, telah berpengaruh secara nyata terhadap sistem pemerintahan dan keuangan. Dari sentralisasi kepada desentralisasi. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999, dimana pemberian kewenangan otonomi daerah tersebut adalah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, termasuk dalam hal ini terutama adalah kewenangan dalam desentralisasi fiskal sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999.
Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal mengandung suatu implikasi bahwa transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menunjukkan jumlah yang semakin besar, sehingga kemampuan keuangan daerah meningkat disertai dengan peningkatan kewenangan dalam pengelolaannya.
Dampak dari kebijakan otonomi daerah telah menimbulkan peluang peningkatan kegiatan perekonomian daerah, terutama di daerah luar Jawa, yang selama ini mengalami ketinggalan dibanding Jakarta atau Jawa. Kegiatan bisnis daerah yang semakin berkembang tersebut pada gilirannya akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah, termasuk dalam hal ini adalah lembaga keuangan mikro dan perbankan. Kehadiran mereka diharapkan akan semakin meningkatkan bisnis daerah yang bersangkutan, melalui berbagai produk yang ditawarkannya.

III. Peran Klasik Lembaga Keuangan Mikro

Secara klasik, sebagai intermediary institutiuon, lembaga keuangan menjalankan kegiatannya dalam bentuk penghimpunan dana dari pihak yang mengalami surplus dana melalui produk saving, dan menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang mengalami defisit dana melalui produk lending

 Sumber: http://www.ekonomirakyat.org

PERAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM OTONOMI DAERAH GUNA MENGGERAKKAN EKONOMI RAKYAT DAN MENANGGULANGI KEMISKINAN I. Lembaga Keuangan Mikro dan Program Pengentasan Kemiskinan Lembaga Keuangan Mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis. Di BRI sendiri, micro finance didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp 50 juta. Terdapat masih banyak lagi definisi micro finance atau keuangan mikro tergantung dari sudut pembicaraan. Bagaimanapun, target atau segmen micro finance senantiasa bersentuhan dengan masyarakat yang relatif miskin atau berpenghasilan rendah Program P4K yang ditangani di BRI mendefinisikan masyarakat miskin sebagai mereka petani nelayan kecil (PNK) dan penduduk pedesaan lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dengan kriteria pendapatannya maksimum setara dengan 320 kg beras per kapita per tahun. Menurut Marguiret Robinson (2000), pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk didalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana dan tentu saja adalah melalui pinjaman dalam bentuk micro credit I. Lembaga Keuangan Mikro dan Program Pengentasan Kemiskinan Lembaga Keuangan Mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis. Di BRI sendiri, micro finance didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp 50 juta. Terdapat masih banyak lagi definisi micro finance atau keuangan mikro tergantung dari sudut pembicaraan. Bagaimanapun, target atau segmen micro finance senantiasa bersentuhan dengan masyarakat yang relatif miskin atau berpenghasilan rendah Program P4K yang ditangani di BRI mendefinisikan masyarakat miskin sebagai mereka petani nelayan kecil (PNK) dan penduduk pedesaan lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dengan kriteria pendapatannya maksimum setara dengan 320 kg beras per kapita per tahun. Menurut Marguiret Robinson (2000), pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk didalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana dan tentu saja adalah melalui pinjaman dalam bentuk micro credit


I. Lembaga Keuangan Mikro dan Program Pengentasan Kemiskinan

Lembaga Keuangan Mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.
Di BRI sendiri, micro finance didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp 50 juta. Terdapat masih banyak lagi definisi micro finance atau keuangan mikro tergantung dari sudut pembicaraan.
Bagaimanapun, target atau segmen micro finance senantiasa bersentuhan dengan masyarakat yang relatif miskin atau berpenghasilan rendah Program P4K yang ditangani di BRI mendefinisikan masyarakat miskin sebagai mereka petani nelayan kecil (PNK) dan penduduk pedesaan lainnya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dengan kriteria pendapatannya maksimum setara dengan 320 kg beras per kapita per tahun.
Menurut Marguiret Robinson (2000), pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk didalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana dan tentu saja adalah melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.
Pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu yang ampuh dalam menangani kemiskinan. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa, ketika pinjaman diberikan kepada mereka yang sangat miskin, kemungkinan besar pinjaman tersebut tidak akan pernah kembali. Hal ini wajar saja, mengingat mereka (the extreme poor) tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Program pangan dan penciptaan lapangan kerja lebih cocok untuk masyarakat sangat miskin tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat lain yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) atau masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income), mereka memiliki penghasilan, meskipun tidak banyak. Untuk itu diperlukan pendekatan, program subsidi atau jenis pinjaman mikro yang tepat untuk masing-masing kelompok masyarakat miskin tersebut.

II. Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Otonomi Daerah (OTODA) 

Kebijakan Pemerintah Indonesia dibidang Otonomi Daerah, telah berpengaruh secara nyata terhadap sistem pemerintahan dan keuangan. Dari sentralisasi kepada desentralisasi. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999, dimana pemberian kewenangan otonomi daerah tersebut adalah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, termasuk dalam hal ini terutama adalah kewenangan dalam desentralisasi fiskal sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999.
Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal mengandung suatu implikasi bahwa transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menunjukkan jumlah yang semakin besar, sehingga kemampuan keuangan daerah meningkat disertai dengan peningkatan kewenangan dalam pengelolaannya.
Dampak dari kebijakan otonomi daerah telah menimbulkan peluang peningkatan kegiatan perekonomian daerah, terutama di daerah luar Jawa, yang selama ini mengalami ketinggalan dibanding Jakarta atau Jawa. Kegiatan bisnis daerah yang semakin berkembang tersebut pada gilirannya akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah, termasuk dalam hal ini adalah lembaga keuangan mikro dan perbankan. Kehadiran mereka diharapkan akan semakin meningkatkan bisnis daerah yang bersangkutan, melalui berbagai produk yang ditawarkannya.

III. Peran Klasik Lembaga Keuangan Mikro

Secara klasik, sebagai intermediary institutiuon, lembaga keuangan menjalankan kegiatannya dalam bentuk penghimpunan dana dari pihak yang mengalami surplus dana melalui produk saving, dan menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang mengalami defisit dana melalui produk lending

 Sumber: http://www.ekonomirakyat.org


Rabu, 05 Januari 2011

BBM dan Ekonomi Rakyat

Pemerintah baru “SBY-Kalla” sudah merasa tidak ada halangan untuk menaikkan harga BBM (kecuali minyak tanah) awal Januari 2005. Artinya, seluruh warga masyarakat sudah “sangat memahami” bahwa demi kelangsungan anggaran/keuangan pemerintah, pengeluaran ekstra untuk subsidi BBM harus dipangkas, sehingga anggaran subsidi ini dapat dipakai untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang jauh lebih penting dan mendesak seperti dana-dana untuk pembangunan pendidikan dan pemberantasan kemiskinan.

Bahwa kenaikan harga BBM akan mengakibatkan kenaikan biaya transpor dan kenaikan harga-harga bahan pokok kebutuhan rakyat, kiranya termasuk yang sudah “dipahami” oleh rakyat. Rupanya rakyat sudah siap untuk tidak lagi membiarkan pemerintah menunda-nunda kebijaksanaan ekonomi yang realistis. Sebenarnya rakyat pun sadar bahwa kebijakan subsidi BBM selama ini sebenarnya bukan kebijakan populis karena yang menikmati subsidi BBM justru mereka yang tidak miskin yang mampu memiliki kendaraan bermotor termasuk mobil-mobil mewah, dan bahkan perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik yang banyak menggunakan BBM untuk mesin-mesin pabriknya.

Satu implikasi penting dari “kesiapan rakyat” atas kenaikan harga BBM adalah bahwa sesungguhnya banyak kebijakan ekonomi pemerintah selama ini yang jelas-jelas tidak efisien, dan sekaligus tidak adil, ternyata dibiarkan berkepanjangan, karena para pakar yang seharusnya kritis tidak cukup berani dan rajin mengkritisinya. Keteledoran pakar-pakar ini disayangkan, karena dampak buruk terhadap perekonomian nasional dibiarkan berkepanjangan, lebih-lebih dalam hal membiarkan pelaku-pelaku ekonomi kuat menikmati subsidi yang ditanggung oleh rakyat banyak. Subsidi terhadap pabrik pupuk misalnya tidak seharusnya diteruskan karena justru yang berhak menikmati subsidi adalah petani padi yang miskin bukan justru pabrik-pabrik pupuk.

Demikian, kita sambut gembira kebijakan-kebijakan ekonomi yang bertujuan menghapuskan aneka distorsi dalam perekonomian kita yang berakibat buruk pada ekonomi rakyat kita. Para pakar dihimbau untuk meningkatkan daya kritisnya terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang keliru yang merugikan ekonomi rakyat.


 sumber: http://www.ekonomirakyat.org

BBM dan Ekonomi Rakyat

Pemerintah baru “SBY-Kalla” sudah merasa tidak ada halangan untuk menaikkan harga BBM (kecuali minyak tanah) awal Januari 2005. Artinya, seluruh warga masyarakat sudah “sangat memahami” bahwa demi kelangsungan anggaran/keuangan pemerintah, pengeluaran ekstra untuk subsidi BBM harus dipangkas, sehingga anggaran subsidi ini dapat dipakai untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang jauh lebih penting dan mendesak seperti dana-dana untuk pembangunan pendidikan dan pemberantasan kemiskinan.

Bahwa kenaikan harga BBM akan mengakibatkan kenaikan biaya transpor dan kenaikan harga-harga bahan pokok kebutuhan rakyat, kiranya termasuk yang sudah “dipahami” oleh rakyat. Rupanya rakyat sudah siap untuk tidak lagi membiarkan pemerintah menunda-nunda kebijaksanaan ekonomi yang realistis. Sebenarnya rakyat pun sadar bahwa kebijakan subsidi BBM selama ini sebenarnya bukan kebijakan populis karena yang menikmati subsidi BBM justru mereka yang tidak miskin yang mampu memiliki kendaraan bermotor termasuk mobil-mobil mewah, dan bahkan perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik yang banyak menggunakan BBM untuk mesin-mesin pabriknya.

Satu implikasi penting dari “kesiapan rakyat” atas kenaikan harga BBM adalah bahwa sesungguhnya banyak kebijakan ekonomi pemerintah selama ini yang jelas-jelas tidak efisien, dan sekaligus tidak adil, ternyata dibiarkan berkepanjangan, karena para pakar yang seharusnya kritis tidak cukup berani dan rajin mengkritisinya. Keteledoran pakar-pakar ini disayangkan, karena dampak buruk terhadap perekonomian nasional dibiarkan berkepanjangan, lebih-lebih dalam hal membiarkan pelaku-pelaku ekonomi kuat menikmati subsidi yang ditanggung oleh rakyat banyak. Subsidi terhadap pabrik pupuk misalnya tidak seharusnya diteruskan karena justru yang berhak menikmati subsidi adalah petani padi yang miskin bukan justru pabrik-pabrik pupuk.

Demikian, kita sambut gembira kebijakan-kebijakan ekonomi yang bertujuan menghapuskan aneka distorsi dalam perekonomian kita yang berakibat buruk pada ekonomi rakyat kita. Para pakar dihimbau untuk meningkatkan daya kritisnya terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang keliru yang merugikan ekonomi rakyat.